Analisis Wacana Cerpen “Dari Paris” karya Harris Effendi Thahar Dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1994, Tinjauan Aspek Sosial Budaya serta Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal


Cerpen "Dari Paris" karya Harris Effendi Thahar ini termasuk dalam cerpen Pilihan Kompas tahun 1994 yang berjudul "Lampor". Cerpen "Lampor" itu sendiri merupakan karangan dari sastrawan Joni Ariadinata. 

Selamat Membaca.

rifanfajrin.com


Analisis Wacana Cerpen “Dari Paris” karya Harris Effendi Thahar Dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1994, Tinjauan Aspek Sosial Budaya serta Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal

Oleh M. Rifan Fajrin *


Abstrak

Berdasarkan bentuk penyampaiannya, wacana dibedakan menjadi wacana puisi, wacana prosa, dan wacana drama. Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk terurai, misalnya cerpen. Karena pada dasarnya cerpen adalah snapshot, potret terhadap realitas sosial, maka cerpen tidak bisa lepas dari aspek sosial dan budaya yang membentuknya, selain cerpen terbangun atas unsur-unsur intrinsiknya.
Pada cerpen ”Dari Paris” yang dikaji dalam penelitian ini, dari segi sosial budaya merupakan potret atas bias-bias perubahan zaman. Sedangkan dari segi keterkaitan maknanya, cerpen ini mempunyai keterkaitan antar kalimat-kalimat maupun paragraf yang membangunnya. Dapat dilihat dari analisis aspek gramatikal terdapat pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan konjugsi. Selain itu pada analisis aspek leksikal ditemukan repetisi (perulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), superordinat, dan kolokasi (sanding kata). Kedua aspek tersebut menunjukkan keterkaitan antar kalimat pada cerpen ”Dari Paris” karya Harris Effendi Thahar.



A.    Pendahuluan

1.      Latar Belakang
Dalam perkembangannya, dari segi bentuk dan panjangnya cerpen merupakan karya sastra yang paling cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan media bukan sastra, misalnya koran. Entah berapa ratus cerpen terpublikasikan di media pada setiap bulannya, sebab hampir semua majalah hiburan dan surat kabar umum yang memiliki edisi minggu menyediakan rubrik khusus cerpen.
Cerpen sebagai suatu karya sastra yang relatif pendek, dengan hanya beberapa halaman, dengan kalimat-kalimat realis yang sederhana, terbukti sanggup membuktikan kosmos suatu kondisi dengan tampilan yang utuh. Dengan kecenderungan untuk tidak berkhotbah, cerpen dengan cukup sarat pasi mampu menggambarkan bahwa konflik dengan kekuatan eksternal, yakni pada sosiokultural sebuah kampung pada masa transisi dapat dibangun dengan sempurna. Begitu pula konflik internal yang dibangun pada unsur-unsur kohesif yang membentuk wacana cerpen, lewat penggambaran tokoh, adegan, dialog-dialog yang diucapkan para tokoh, pun ternyata mampu membangun suatu kesatuan yang padu.
Dalam tulisan ini akan dianalisis aspek sosial budaya serta penanda kohesi baik gramatikal maupun leksikal, pada sebuah cerpen karya Harris Effendi Thahar yang berjudul ”Dari Paris”. Cerpen ini termasuk di dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1994 yang berjudul Lampor.
Cerpen ini menggambarkan tentang bias-bias perubahan zaman, dan peran keluarga sebagai pemersatu kerukunan telah menjadi ilusi semata. Harris Effendi Thahar dengan cerdas mampu menggambarkan hilangnya ikatan batin sebuah keluarga. Cerpen ”Dari Paris” dibangun dengan alur maju yang rapat dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dicerna oleh siapa saja. Dengan daya cerita yang mengalir dan gaya ungkap yang tidak menggurui, mengakibatkan pembaca tertarik untuk membaca lebih jauh, mengerti akhir ceritanya, dan memahami maknanya.

2.      Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a)      Bagaimanakah deskripsi situasi dan konteks sosial budaya telah membangun cerpen ”Dari Paris”?
b)      Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal maupun leksikal dalam cerpen ”Dari Paris”?
3.      Deskripsi Singkat Cerpen ”Dari Paris”
Cerpen ”Dari Paris” ditulis oleh Harris Effendi Thahar, lelaki kelahiran Tembilahan, Riau 4 Januari 1950 dari keluarga perantau Minang. Harris Effendi Thahar termasuk pengarang yang produktif. Di dalam karya-karyanya ia banyak memotret realitas sosial yang terjadi di perkotaan. Karya-karyanya yang telah terbit diantaranya adalah Lagu Sederhana Merdeka, Bendera Kertas dan Daun Jati, Si Padang, dan lain-lain.
Cerpen merupakan media yang efektif untuk mengungkapkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan cerita yang menarik, tahap-tahap ketegangan cerita, didukung dengan penciptaan karakter tokoh yang bervariasi, menjadikan cerpen sebagai pilihan untuk itu. Berbeda dengan pidato atau khotbah yang lebih terkesan menggurui, di dalam cerpen pembaca lebih dihadapkan pada suatu fenomena dan akhirnya pembaca sendirilah yang akan mengambil makna dan nilai-nilai di dalamnya, untuk kemudian dijadikan sebagai perenungan, refleksi, dan juga kontrol sosial.
Pada cerpen ”Dari Paris”, pengarang mencoba memotret tentang perubahan sosial yang terjadi di Padang, Sumatra. Bagaimana disebabkan tuntutan zaman yang serba modern, menjadikan seorang anak tidak lagi sempat untuk mengunjungi orang tuanya di sebuah kampung yang sedang dalam masa transisi menuju ke perkotaan. Akhirnya terciptalah sebuah drama melo ketika sang anak akhirnya menyadari kesalahannya justeru di saat sang ayah meninggal dunia, meninggalkan buku tabungan yang sebenarnya merupakan kiriman dari sang anak setiap bulannya. Namun, oleh sang ayah sepeserpun uang itu tak pernah dibelanjakannya.
Kebahagiaan memang tak dapat dinilai dengan apa pun, itulah kira-kira pesan yang coba diselipkan oleh pengarang. Selain daripada pesan-pesan moral yang lain, seperti  kewajiban seorang anak untuk memperhatikan orang tuanya, dan juga seperti layaknya di kampung, sosialisasi menjadi hal yang sangat dijaga. Dan sebagaimana biasanya, warung dan masjidlah yang menjadi tempat sosialisasi yang pas.

B.     Kajian Teoretis

1.      Wacana Prosa
Berdasarkan bentuk penyampaiannya, wacana dibedakan menjadi tiga, yakni wacana puisi, wacana prosa, dan wacana drama.
Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk terurai. Wacana prosa dibedakan menjadi dua; yakni wacana prosa fiksi dan nonfiksi.
Wacana prosa dalam pengertian kesusasteraan disebut prosa fiksi, teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative disourse). Istilah prosa fiksi dalam hal ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan (Nurgiyantoro, 1995:1). Dengan demikian prosa fiksi adalah suatu karya prosa yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh, sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.
Isi wacana prosa, dapat juga berisi rekaman kehidupan manusia sehari-hari. Adapun bahasanya, karena teks sastra yang imajinatif, maka bahasa prosa bersifat konotatif. Namun sifat konotatif dalam prosa berkaitan dengan makna kias dan makna lambang (majas) diungkapkan dengan cara pembeberan.

2.      Cerpen
Menurut Pradopo dkk (1985:1) cerita pendek adalah satu genre prosa yang juga digemari oleh masyarakast karena jalan ceritanya yang jauh lebih pendek daripada genre-genre lainnya seperti roman dan novel. Dengan demikian istilah cerpen diartikan sebagai cerita pendek.
Sarwadi (dalam susiati 2000:6) menyatakan bahwa cerpen adalah cerita fiksi bentuk prosa yang singkat, padat, dan unsur ceritanya terpusat pada satu peristiwa pokok sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas dan keseluruhan cerita memberi kesan tunggal. Kesan tunggal tersebut terlihat dari peristiwanya yang tidak mengubah nasib pelaku.
Ciri cerpen yang disebutkan oleh Sumardjo (1986:30) yakni bahwa cerpen adalah cerita bentuk prosa yang relatif pendek. Kata pendek dalam batasan ini tidak jelas ukurannya. Ukuran pendek disini diartikan sebagai dibaca sekali duduk dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Dikatakan pendek karena genre hanya memiliki efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang tak terbatas, tidak beragam, dan tidak kompleks.
Berbeda dengan Allan Poe (Jassin 1961:72 dalam Nurgiantoro 1994:10) yang mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam satu hal yang tak mungkin dilakukan bagi sebuah novel. Disebabkan oleh panjangnya maka kemungkinan besar pembaca dapat menyelesaikan pembacaannya dalam waktu yang relative singkat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian cerpen adalah suatu ceita yang relatif pendek, singkat, jika dikaitkan dengan genre cerita hanya memiliki efek tunggal, dan bisa dibaca dalam sekali duduk.

3.      Kohesi (Keterkaitan)
Pada tataran wacana kohesi (keterkaitan) adalah kaitan semantis antara satu proposisi atau kalimat dengan proposisi lainnya dalam wacana itu. Kaitan itu pada tataran wacana diperlihatkan oleh alat kohesi, yang dapat berupa unsur gramatikal maupun leksikal.
Kesinambungan rentetan kalimat dalam wacana terjadi karena adanya benang pengikat yang mempertalikan proposisi dengan proposisi yang lain, yang lebih dikenal dengan konsep keterkaitan (kohesi) (Dardjowidjojo 1986:94). Keterkaitan merupakan satu kesatuan yang mendukung keberadaan suatu wacana. Halliday dan Hassan (1979:75) berpendapat bahwa kohesi merupakan konsep makna yang mengacu pada hubungan makna di dalam suatu wacana. Kohesi adalah kesatuan semantis antara satu ujaran dengan ujaran lainnya dalam suatu wacana.
Hubungan kohesif di dalam wacana dapat ditandai secara formal oleh pemarkah-pemarkah (alat kohesi). Pemarkah-pemarkah itu menghubungkan apa yang dikatakan dengan apa yang telah dinyatakan sebelumnya di dalam wacana itu (Samsuri 1987/1998:38). Pemarkah-pemarkah itu berfungsi mengikat dan membentuk keutuhan wacana.
Kaitan itu diperlihatkan oleh alat kohesi yang dapat berupa unsur gramatikal maupun unsur leksikal.

a)      Kohesi Gramatikal
Halliday dan Hassan (1979) membagi alat kohesi gramatikal menjadi empat macam, yaitu: (1) pengacuan (referensi), (2) penyulihan (subtitusi), (3) pelesapan (elipsis), dan (4) konjungsi.
Dalam bahasa Indonesia, kaitan gramatikal antarbagian wacana menurut Ekowardono (1985) dinyatakan dengan gejala atau fenomena: (1) pengurutan koordinatif dan subordinatif, baik secara eksplisit (dengan konjungsi) maupun secara implisit (tanpa konjungsi), (2) penggantian kata, frase, klausa, kalimat, dan paragraf atau wacana luas tertentu dengan pronomina, (3) pelesapan, (4) pembalikan urutan gatra kalimat (inversi), (5) pemasifan kalimat, (6) nominalisasi.
Berdasarkan dua pendapat di atas, kohesi gramatikal dapat berupa: 1) pengacuan, 2) penyulihan, 3) pelesapan, 4) konjungsi, 5) inversi, 6) pemasifan kalimat, dan 7) nominalisasi.

b)      Kohesi Leksikal
Hubungan kohesi leksikal adalah hubungan kohesif wacana yang terjadi apabila dua unsur di dalam wacana dihubungkan melalui satu pengertian.
Alat kohesi leksikal terdiri dari dua macam yaitu: a) reiterasi, dan b) kolokasi. Masing-masing kategori terbagi atas sub-subkategori. Tipe hubungan reiterasi dibedakan menjadi perulangan, sinonim, superordinat, dan unsur umum.
Tipe kedua adalah kolokasi yang merupakan unsur-unsur yang memiliki jaringan semantik yang sama yag muncul secara teratur di dalam sebuah wacana.

C.    Metode

1.      Data
Di dalam makalah ini akan disajikan data-data berupa penggalan kata-kata, kalimat, atau paragraf untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang membangun karya sastra cerpen. Unsur-unsur yang akan dibahas tersebut meliputi analisis situasi dan konteks sosial budaya dalam cerpen, serta identifikasi penanda kohesi baik gramatikal maupun leksikal dalam naskah cerpen.

2.      Sumber Data
Seluruh data diperoleh dari naskah cerpen berjudul ”Dari Paris” karya Harris Effendi Thahar, yang diperoleh dari Cerpen Pilihan Kompas 1994. Cerpen ini sendiri termuat di Harian Kompas edisi 7 Februari 1993.

3.      Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini metode analisis deskriptif. Selain menggambarkan aspek sosial budaya dalam cerpen ”Dari Paris”, dilakukan juga pendekatan penulisan dengan interpretasi data. Pendekatan tersebut digunakan dalam menganalisis penanda kohesi dalam cerpen ”Dari Paris”.

D.    Fokus Bahasan

1.      Analisis Situasi dan Konteks Sosial Budaya Cerpen ”Dari Paris”

a.      Analisis Situasi
Pak Kasim, seorang pensiunan guru yang telah renta, sangat mendambakan anaknya Alwi, anak lelakinya satu-satunya, untuk pulang ke Sumatra. Lebih dari sepuluh tahun Alwi tak pulang ke rumah. Walaupun Pak Kasim agak kecewa dengan keadaan itu, toh ia selalu membanggakan anaknya itu di depan teman-teman ngobrolnya di warung kopi Jalil.
Dari aspek situasional tokoh utama, Pak Kasim, akhirnya meninggal setelah mengalami masa kritis yang memuncak. Pak Kasim terlalu berat menanggung beban kerinduan terhadap Alwi yang telah lama dipendamnya. Disebabkan perbincangannya dengan Tan Marajo yang dirasakannya telah melukai hatinya, seolah menyindirnya, dengan mengatakan anak Tan Marajo yang jualan sate di Jakarta masih sempat pulang menjelang lebaran. Berbeda dengan Alwi yang tak pernah pulang sekalipun.
Hingga pada masa kerinduannya yang amat sangat, Pak Kasim seperti biasanya menunggu telepon dari Alwi. Namun hingga larut malam Alwi tak kunjung meneleponnya. Ketika Pak Kasim nekat menelepon Alwi namun hanya dijawab oleh pembantunya yang mengatakan Alwi beserta keluarga sedang pergi ke Paris, hilanglah semangat Pak Kasim yang menyebabkan ia meninggal setelah sempat menulis surat untuk anaknya Alwi.
Sedangkan Alwi, hanya bisa menyesal mendapati tanah merah kuburan ayahnya beserta warisan berupa buku tabungan, ketika ia terbang pulang ke Sumatera, dari Paris.

b.      Analisis Sosial Budaya
Dalam konteks ini pengarang menempatkan si pelaku dalam masa transisi, pada pergeseran budaya perkotaan dalam lingkup kehidupan sosiokultural yang tak lagi tradisional.
Dalam cerpen ini pengarang memotret suatu keprihatinan sosial yang tidak bermuara pada protes. Karena di dalam suatu gejala sosial belum tentu terdapat pihak yang dianggap bersalah. Harris Effendi Thahar dalam cerpen ini mengangkat keprihatinan sosial yang bermuara pada perubahan nilai-nilai sosial.
Perubahan memang merupakan sebuah konsekuensi sebagai akibat dari bias-bias perubahan zaman. Perubahan yang terkadang membuat peran keluarga sebagai pemersatu kerukunan telah menjadi ilusi semata. Ikatan batin di dalam sebuah keluarga seperti hilang. Zaman memang telah berubah. Namun siapa yang disalahkan? Tidak ada. Masing-masing individu terlibat. Protes tidak mungkin dilayangkan kepada siapapun. Tapi toh, rasa sesal terhadap perubahan itu tetap ada. Rasa sesal, sebagaimana halnya protes dapat menciptakan sebuah karikatur. Begitu sebuah karikatur tercipta, sebuah melodrama pun ikut tercipta.
Melodrama bisa menjadi sangat instrumental dalam memancing kesadaran. Meninggalnya seorang ayah memang dapat memacu kesadaran anak akan kesalahannya. Namun, kesadaran datang setelah segala sesuatunya terlambat. Karena itu, kehendak zaman tetap menang. Keluarga sebagai lembaga pemersatu tetap merupakan ilusi.

2.      Analisis Gramatikal dan Leksikal Penanda Kohesi Cerpen ”Dari Paris”

a.      Analisis Gramatikal
Analisis aspek gramatikal dalam wacana meliputi: pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan konjungsi.  Berikut ini adalah pemaparan aspek-aspek gramatikal yang dijumpai dalam cerpen ”Dari Paris”.
1)      Referensi/pengacuan

Ø  Pengacuan Persona
Pengacuan persona yang terdapat dalam cerpen ”Dari Paris” meliputi pronomina persona pertama tunggal, pronomina persona pertama jamak, pronomina persona kedua tunggal, dan pronomina persona ketiga tunggal. Adapun sifat pengacuan yang ada adalah endoforis yang dapat dilihat dari data berikut:
a)      ”Anak saya Kadir tidak pernah kirim wesel. Ia hanya nitip sama orang yang pulang kampung.”
b)      ”Kau lihat bagaimana aku dulu menyekolahkan anak-anakku? Pulang mengajar, aku harus berkebun sayur dan pisang. Malah pisang-pisangku sempat diijon orang agar aku cepat dapat uang belanja sekolah anak-anakku.”
c)      ”Anak-anak Engku Guru tidak ada yang susah-susah cari uang seperti anak-anak kami kebanyakan orang kampung kita ini.”
d)     Kau lihat bagaimana aku dulu menyekolahkan anak-anakku?”
e)      ”Ya, ya. Untung ibumu tidak merantau pula.”
f)       ”Emangnya Kadir anakmu itu kerja apa di Jakarta?”
g)      Suatu hari orang tua pensiunan itu menerima wesel dari Alwi, anak lelakinya satu-satunya. Ia sangat gembira.
h)      Sebenarnya ia, Pak Kasim, lelaki pensiunan guru itu kecewa.
Pada data a) terdapat pengacuan persona pertama tunggal bentuk bebas saya yang mengacu pada Tan Marajo. Sedangkan aku (bentuk bebas) dan ku (persona pertama tunggal bentuk terikat) pada data b) mengacu pada Pak Kasim, tokoh utama dalam cerita. Persona pertama jamak terdapat pada data c) yakni pada kata kami dan kita. Kata kami merupakan pronomina persona pertama jamak yang bersifat eksklusif, dalam mengacu pada Tan Marajo bersama warga kampung kebanyakan, tidak termasuk Pak Kasim sebagai mitra tutur. Sedangkan kita merupakan pronomina persona jamak yang bersifat inklusif, artinya mengacu juga pada lawan bicara.
Pengacuan persona kedua tunggal bentuk bebas kau terdapat pada data d) yang mengacu pada Tan Marajo. Adapun pengacuan persona kedua bentuk terikat lekat kanan terdapat pada data e) dan f) –mu yang mengacu pada putri Anis pada e) dan Tan Marajo pada f). Dalam cerpen ini tidak terdapat pengacuan persona kedua tunggal terikat lekat kiri.
Pengacuan persona ketiga tunggal bentuk bebas ia terdapat pada g) dan h) yang mengacu pada Pak Kasim. Terdapat pula pengacuan persona ketiga tunggal bentuk terikat lekat kanan pada g) yang mengacu pula pada Pak Kasim.
Berdasarkan posisi anteseden, pada data g) terdapat anafora pada kalimat Alwi, anak lelakinya satu-satunya, yakni konstituen yang diacu berada di sebelah kiri konstituen pengacu, atau konstituen yang diacu disebutkan terlebih dahulu. Sedangkan pada data h) terdapat katafora, kebalikan dari anafora, konstituen yang diacu berada di sebelah kanan konstituen pengacu. Ini terdapat pada kalimat sebenarnya ia, Pak Kasim, lelaki pensiunan guru itu kecewa.

Ø  Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua yakni pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Demonstratif waktu terdiri atas waktu sekarang, lampau, akan datang, dan waktu netral. Demonstratif tempat terdiri dari tempat dekat, agak dekat, dan jauh. Pada cerpen ”Dari Paris” terdapat demonstratif waktu dan tempat seperti pada data berikut ini.
a)      Beberapa bulan sebelum wesel itu datang, ia menerima potret keluarga Alwi di Amerika. Alwi dan keluarganya hampir dua tahun menetap di sana disekolahkan perusahaan tempat ia bekerja. Kini ia telah pulang ke tanah air, tetapi tidak sempat pulang ke kampung menjenguk ayahnya.
b)      Dulu jalan itu memang jalan kampung berkerikil dan berlubang-lubang, kendaraan tidak terlalu banyak. Sekarang setelah menjadi bagian dari pinggiran kota, jalan itu menjadi mulus dan besar.
Pada data a) terdapat penanda demonstratif lokasional jauh di sana, dan demonstratif temporal waktu sekarang kini. Sedangkan pada data b) demonstratif lokasional determinator jarak netral, tidak jauh dan tidak dekat terdapat pada jalan itu, sedangkan demonstratif temporal pada waktu lampau terdapat pada kata dulu, waktu sekarang pada kata sekarang.

Ø  Komparatif
Salah satu bentuk kohesi gramatikal adalah komparatif yaitu membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Pada cerpen ”Dari Paris” terdapat komparatif sebagai berikut.
a)      Memang menantunya inilah yang selalu mendengarkan apa-apa yang dibicarakannya. Bahkan menantunya inilah sekarang yang bertindak seolah-olah anak laki-lakinya.
b)      Lalu ia dikejutkan oleh sentuhan tangan cucu perempuan yang paling disayanginya, putri Anis, anak bungsunya yang setia tinggal bersamanya di rumah orang tua itu.
c)      Badannya serasa kapas, terombang-ambing dibawa angin sejuk yang aneh.
Pada data a) satuan lingual seolah-olah membandingkan sosok menantu Pak Kasim sebagai anak lelakinya, Alwi. Adapun b) satuan lingual yang paling menunjukkan komparatif pada tingkat superlatif. Di dalamnya diperbandingkan rasa sayang yang tercurah dari Pak Kasim terhadap cucu-cucunya, dan dari sekian banyak cucunya yang paling disayangi Pak Kasim adalah putri Anis. Sedangkan satuan lingual serasa pada c) membandingkan badan Pak Kasim sebagai kapas yang sangat ringan dan dapat terombang-ambing oleh angin sejuk yang bertiup.

2)      Penyulihan/substitusi
Penyulihan atau substitusi adalah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebutkan dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda) (Sumarlan, ed., 2003:28). Pada cerpen ”Dari Paris” terdapat beberapa bentuk penyulihan seperti pada data berikut ini.

Ø  Substitusi Nomina
a)      Dalam suratnya, lelaki itu mengatakan bahwa ia sangat ingin mendengarkan suara anaknya, suara pewaris keturunannya.
Pada data di atas satuan lingual anaknya digantikan dengan satuan lingual pewaris keturunannya.

Ø  Substitusi Kalimat
a)      Bukan itu saja, pendengarannya pun sudah tidak berfungsi dengan baik. Memang ia memakai alat bantu dengar yang dicantelkan pada tangkai kacamata, tetapi baterainya tidak selalu baru. Ketika baterainya betul-betul habis, ia merasa amat pekak.
Soal pendengaran itu amat menakutkannya.
Pada data di atas satuan lingual itu menggantikan kalimat Bukan itu saja, pendengarannya pun sudah tidak berfungsi dengan baik. Memang ia memakai alat bantu dengar yang dicantelkan pada tangkai kacamata, tetapi baterainya tidak selalu baru. Ketika baterainya betul-betul habis, ia merasa amat pekak.

3)      Elipsis (Pelesapan)
Pelesapan/elipsis merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Pelesapan dapat berbentuk kata, frasa, atau klausa. Pada cerpen ”Dari Paris” terdapat beberapa pelesapan seperti pada data berikut.
a)      Soal pendengaran itu amat menakutkannya. Untung ia masih dapat melihat, berpikir, dan beribadat dengan baik. Dan yang paling penting, masih bisa berperasaan.
b)      Esoknya, di warung kopi ia menceritakan kepada orang-orang bahwa anaknya tiap hari berbicara dengannya lewat telepon. Orang-orang desa itu kagum. Malah banyak yang ingin mendengarkan percakapan itu, tapi tak berani mengutarakannya.
c)      ”Emangnya Kadir anakmu itu kerja apa di Jakarta?”
”Jualan sate!” jawab Tan Marajo polos.

Pada data a) terdapat pelesapan satuan lingual berupa kata ia. Kalimat itu sebelum dilesapkan berbentuk: Soal pendengaran itu amat menakutkannya. Untung ia masih dapat melihat, berpikir, dan beribadat dengan baik. Dan yang paling penting, ia masih bisa berperasaan.
Sedangkan pada data b) terdapat pelesapan satuan lingual berupa kata mereka, yang merujuk pada orang-orang desa yang kagum pada cerita Pak Kasim. Kalimat itu sebelum dilesapkan berbentuk: Esoknya, di warung kopi ia menceritakan kepada orang-orang bahwa anaknya tiap hari berbicara dengannya lewat telepon. Orang-orang desa itu kagum. Malah banyak yang ingin mendengarkan percakapan itu, tapi mereka tak berani mengutarakannya.
Pada data c) terdapat pelesapan satuan lingual berupa frasa anakku Kadir kerja di Jakarta. Kalimat tersebut tanpa dilesapkan akan tertulis: anakku Kadir kerja di Jakarta jualan sate!

4)      Perangkai/konjungsi
 Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Dalam cerpen ”Dari Paris” terdapat banyak konjungsi seperti pada data berikut ini.
a)      Orang-orang kagum, karena jumlah uang yang dikirimkan anaknya sangat banyak. Padahal, lelaki tua itu tidak membutuhkan uang sebanyak itu.
b)      Kini ia telah pulang ke tanah air, tetapi tidak sempat pulang ke kampung menjenguk ayahnya karena Alwi segera menduduki jabatan direktur sebuah perusahaan. Karena itu orang tua itu hanya menerima surat dari Alwi.
c)      Tapi sayang, Alwi menerjemahkan lain.
d)     Memang menantuya inilah yang selalu mendengarkan apa-apa yang dibicarakanya. Bahkan menantunya inilah sekarang yang bertindak solah-olah anak laki-lakinya.
e)      Hatinya mulai agak gembira ketika Alwi meneleponnya malam-malam sehabis bekerja sehari suntuk. Walaupun tidak bertemu muka, ia dapat mendengarkan suara anaknya yang amat dikenalnya sejak kecil. Bahkan ia masih ingat bila saatnya suara Alwi berubah dari suara anak-anak menjadi suara dewasa.
f)       Pulang mengajar, aku harus berkebun sayur dan pisang. Malah pisang-pisangku sempat diijon orang agar aku cepat dapat uang belanja sekolah anak-anakku.
g)      Walaupun sebenarnya jarak warung kopi Jalil ke rumahnya tidak sampai lima ratus meter, bagi Pak Kasim cukup membuat napasnya sesak. Tapi, sebagai warga kampung, satu-satunya ajang bersosialisasi adalah warung kopi itu selain masjid. Lagipula, ia ingin ada orang lain yang mendengarkan suaranya. Di situlah tempatnya.
h)      Tapi, sebagai warga kampung, satu-satunya ajang bersosialisasi adalah warung kopi itu selain masjid. Lagipula, ia ingin ada orang lain yang mendengarkan suaranya. Di situlah tempatnya.
i)        Di rumah ia sering tinggal sendiri, kecuali anak-anak Anis yang asyik bermain.
j)        Pada suatu malam, ia telah lama menunggu telepon dari Alwi. Setelah habis siaran televisi, tidak juga berdering telepon itu. Ia nekat menelepon Alwi.
k)      Suara itu bukan pula suara Alwi. Tidak pula suara istri Alwi, melainkan suara pembantu yang medok.
l)        Dengan susah payah, ia menemukan kertas putih dan pena. Lalu ia menulis panjang sekali. Setelah menulis dua halaman penuh di atas kertas folio putih, ia merasa pusing.

Pada data a) terdapat konjungsi karena yang menyatakan kalimat pertama sebagai akibat dari kalimat kedua. Kemudian dalam kalimat itu dihubungkan kembali dengan kojungsi padahal, yang merupakan konjungsi koordinatif yang menyatakan tak serasian. Kalimat tersebut menyatakan bahwa Pak Kasim tidak perlu uang sebanyak yang dikirimkan oleh anaknya Alwi. Konjungsi karena juga terdapat di data b) yang menyatakan kalimat terakhir adalah akibat dari dua kalimat sebelumnya.
Kojungsi antarkalimat koordinatif kontras terdapat pada data b), c), g) dan k) yaitu pada kata tetapi/tapi dan melainkan pada k). Pada b) menyatakan keadaan yang sebenarnya dapat dilakukan oleh Alwi namun ternyata tak mampu dilakukannya, yakni menjenguk orang tuanya ketika ia telah kembali ke tanah air. Begitu pula pada g) yang menyatakan bahwa walaupun berjalan ke warung kopi Jalil membuat napasnya sesak, namun dilakukan juga oleh Pak Kasim, karena di situlah tempatnya warga kampung bersosialisasi. Pada k) disebutkan bukan Alwi atau isterinya yag mengangkat teleponnya namun justru pembantunya yang medok.
Konjungsi antarkalimat koordinatif berbentuk tegasan terdapat pada data  d), e), dan f) pada kata bahkan dan malah. Pada data d) menegaskan begitu dekatnya Pak Kasim dengan menantunya sehingga menantunya tersebut sudah seperti anak kandungnya sendiri. Begitu juga pada data e) menegaskan bahwa kedekatan Pak Kasim pada anak laki-lakinya sehingga ia mengenali betul suara anaknya sejak kanak-kanak hingga berubah menjadi suara dewasa. Sedangkan pada data f) yang ditegaskan di sana adalah kerja keras Pak Kasim dalam menyekolahkan anak-anaknya dulu. Diterangkan di sana bahwa selepas pulang mengajar Pak Kasim masih harus bekerja keras menanam sayur dan pisang demi anak-anaknya.
Konjungsi subordiatif konsesif terdapat pada data e) dan g) yakni pada konjungsi walaupun. Pada data e) menyatakan keadaan bagaimana Pak Kasim sangat mengenal suara anakya walau hanya lewat telepon. Sedangkan dalam g) menyatakan kepayahan Pak Kasim saat berjalan dari warung kopi Jalil yang sebenarnya hanya berjarak lima ratus meter dari rumahnya.
Pada data i) terdapat jenis konjungsi antarkalimat subordinatif ekseptif pada kata kecuali. Konjungsi ekseptif menyatakan kekecualian dari hal yang telah disebutkan kalimat sebelumnya. Dalam hal ini adalah keadaan Pak Kasim yang sendirian di rumah, kecuali anak-anak Anis yang asyik bermain.
Selain itu terdapat pula jenis konjungsi koordiatif urutan pada data j) da l) pada kata lalu dan setelah. Pada kedua data tersebut menyatakan urutan suatu kegiatan pada suatu malam yang dilakukan oleh Pak Kasim.

b.      Analisis Leksikal
Kepaduan wacana selain didukung oleh aspek gramatikal atau kohesi gramatikal juga didukung oleh kohesi leksikal. Aspek leksikal adalah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis.
Analisis aspek leksikal dalam wacana meliputi: Reiterasi dan Kolokasi. Berikut ini adalah pemaparan aspek-aspek leksikal yang dijumpai dalam cerpen ”Dari Paris”.

1)      Reiterasi

Ø  Repetisi
a)      Ya, ayah tidur, eh tunggu sebentar... Ayah...ayah... Bangun Yah. Aduh, bagaimana ini. Bang Syariiif, ayah meninggal. Halo, ayah tidak ada lagi.”
Pada contoh di atas terdapat perulangan kata ayah di awalm tengah, dan akhir kalimat.
Ø  Sinonimi
Sinonimi merupakan aspek leksikal guna mendukung kepaduan wacana. Sinonim dipakai untuk menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual lain dalam wacana.
a)      Artinya, ia masih bisa mencurahkan perasaannya sewaktu menulis surat kepada anak laki-lakinya Alwi. Dalam suratnya ia mengatakan bahwa ia sangat ingin mendengarkan suara anaknya, suara pewaris keturunannya.
Pada contoh di atas, kata anak disinonimkan dengan pewaris keturunan.
Ø  Antonimi
Antonimi adalah satuan lingual yang berlawanan, disebut juga dengan istilah oposisi. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam; 1) oposisi mutlak, 2) oposisi kutub, 3) oposisi hubungan, 4) oposisi hirarkial, dan 5) oposisi majemuk.
a)      Tuan dan nyonya baru saja berangkat ke Paris sore ini.
Pada data di atas terdapat oposisi hubungan antara tuan x nyonya.
Ø  Superordinat
a)      Biar pesawat terbang, atau taksi, apalagi bus antarkota, ia merasa tak kuat.
Kata kendaraan atau sarana transporatasi merupakan superordinat dari pesawat terbang, busantarkota, dan taksi.
__________________________________________________________________
Berikut ini cerpen "Dari Paris" karya Harris Effendy Thahar



Dari Paris

Suatu hari orang tua pensiunan itu menerima wesel dari Alwi, anak lelakinya satu-satunya. Ia amat gembira. Saking gembiranya, lama sekali wesel itu tidak ditukarkanya di kantor pos. Wesel itu dikantunginya berminggu-minggu sampai-sampai orang-orang di warung kopi Jalil tempatnya mangkal sore-sore sudah tahu semua. Orang-orang kagum, karena jumlah uang yang dikirimkan anaknya itu sangat banyak. Padahal, lelaki tua itu tidak membutuhkan uang sebanyak itu. Ia punya cukup uang pensiun. Istrinya sudah lama meninggal. Anak perempuannya yang sulung sudah lama bermukim di Arab bersama suami dan anak-anaknya. Anak perempuannya yang bungsu menjadi guru SD dan suami anak bungsunya menjadi guru SMP di kampung itu. Semua berjalan baik-baik saja. Tiap panen hampir tak ada yang gagal.
Beberapa bulan sebelum wesel itu datang, ia menerima potret keluarga Alwi di Amerika. Alwi dan keluarganya hampir dua tahun menetap di sana disekolahkan perusahaan tempat ia bekerja. Kini ia telah pulang ke tanah air, tetapi tidak sempat pulang ke kampung menjenguk ayahnya karena Alwi segera menduduki jabatan direktur sebuah perusahaan. Karena itu orang tua itu hanya menerima surat dari Alwi. Sebenarnya ia, Pak Kasim, lelaki pensiunan guru itu kecewa. Sebagai anak yang terpelajar, mustinya Alwi pulang ke Sumatra menjumpai ayahnya terlebih dahulu. Mustinya ada pesta selamatan di rumah, biar orang-orang sekampung tahu bahwa Pak Kasim yang cuma pensiunan guru SD berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang. Tapi hal itu tidak terjadi. Ia mencoba maklum, betapa kesibukan orang di zaman modern tidak sama dengan kesibukan orang di zaman ia ketika muda dulu. Bukankah wesel itu dimaksudkan anaknya untuk membeli tiket ke Jakarta?
Dulu memang ia pernah ke Jakarta sewaktu Alwi diwisuda menjadi sarjana, tetapi waktu itu ia masih bersama istrinya, ibu Alwi yang kini sudah marhum. Sudah hampir sepuluh tahun ia tidak pernah lagi ke Jakarta. Kini, walaupun Alwi sudah punya rumah sendiri dan punya pembantu, istri yang cantik dari Bandung, dua orang anak yang salah satunya lahir di Amerika, lelaki tua itu tak hendak ke Jakarta. Ia merasa tidak kuat lagi duduk di atas kendaraan apa saja berlama-lama. Biar pesawat terbang, atau taksi, apalagi bus antarkota, ia merasa tak kuat.
Maklumlah umurnya sekarang menjelang delapan puluh tahun. Umur yang sangat tua untuk orang Indonesia. Bukan itu saja, pendengarannya pun sudah tidak berfungsi dengan baik. Memang ia memakai alat bantu dengar yang dicantelkan pada tangkai kacamata, tetapi baterainya tidak selalu baru. Ketika baterainya betul-betul habis, ia merasa amat pekak.
***
Soal pendengaran itu amat menakutkannya. Untuk ia masih dapat melihat, berpikir, dan beribadat dengan baik. Dan yang paling penting, masih bisa berperasaan. Artinya, ia masih bisa mencurahkan perasaannya sewaktu menulis surat kepada anak laki-lakinya Alwi. Dalam suratnya, lelaki itu mengatakan bahwa ia sangat ingin mendengarkan suara anaknya, suara pewaris keturunannya. Tentu saja termasuk suara cucu-cucunya.
Tapi sayang, Alwi menerjemahkan lain. Oleh karena itu ia mengirimkan wesel ekstra untuk memasang telepon agar suaranya dapat terdengar oleh ayahnya. Urusan memasukkan telepon itu telah dilaksanakan oleh suami anak bungsunya yang menjadi guru SMP itu. Memang menantunya inilah yang selalu mendengarkan apa-apa yang dibicarakannya. Bahkan menantunya inilah sekarang yang bertindak seolah-olah anak laki-lakinya.
Hatinya mulai agak gembira ketika Alwi meneleponnya malam-malam sehabis bekerja sehari suntuk. Walaupun tidak bertemu muka, ia dapat mendengarkan suara anaknya yang amat dikenalnya sejak kecil. Bahkan ia masih ingat bila saatnya suara Alwi berubah dari suara anak-anak menjadi suara dewasa.
”Bila ayah perlu apa-apa, putar saja nomor telepon saya. Jika saya atau istri saya tidak ada di rumah, katakan saja apa yang ayah maui, suara ayah akan terekam dalam alat perekam telepon di sini. Malamnya saya bisa telepon ayah lagi. Ini, cucu ayah, Doni, mau mengucapkan selamat tidur. ’Selamat tidur kakek. Tidur yang enak ya kek?’ Nah, yang kecil sudah tidur sejak saya pulang malam ini. Sampai jumpa ayah...”
***
 Telepon itu terputus. Esoknya, di warung kopi ia menceritakan kepada orang-orang bahwa anaknya tiap hari berbicara dengannya lewat telepon. Orang-orang di desa itu kagum. Malah banyak yang ingin mendengarkan percakapan itu, tapi tak berani mengutarakannya.
”Apakah weselnya tetap datang?”
”O, tentu. Tiap bulan musti datang. Bulan kemarin jumlahnya jauh lebih banyak dari sebelumnya. Dan,” orang tua itu berpikir sebentar, ”katanya ’selamat bersenang-senang ayah’...”
”Anak saya Kadir tidak pernah kirim wesel. Ia hanya nitip sama orang yang pulang kampung. Untungnya Kadir pulang tiap menjelang puasa masuk. Paling tidak, sebelum Lebaran ia sudah di sini bersama keluarganya,” kata Tan Marajo yang juga punya punya anak di Jakarta mencari nafkah dengan menjual sate Padang dengan gerobak sorong, masuk lorong keluar lorong.
Mendengar cerita Tan Marajo teman bicaranya di warung kopi itu, Pak Kasim merasa sedikit tersinggung. Ia merasa tersindir karena Alwi memang tidak pernah pulang sejak sepuluh tahun belakangan ini. Ia pura-pura menggosok lensa kacamatanya sambil mencari-cari kata-kata yang tepat untuk membalas sindiran itu.
”Emangnya Kadir anakmu itu kerja apa di Jakarta?”
”Jualan sate!” jawab Tan Marajo polos.
”Pantas, mana ada orang perlu makan sate di siang hari bulan puasa. Kalau jualan di malam hari, kasihan kesehatannya. Bisa-bisa paru-paru basah dia. Sekali kena, sukar sembuhnya.”
”Benar Engku Guru,” jawab Tan Marajo sambil menggulung rokok.
Tetapi jawaban yang polos dan lugu itu malah menyakitkan hati orang tua itu. Ia mencoba kalimat lain yang lebih atas agar tidak merasa terlalu tertekan benar.
”Alwi tidak bisa sembarang libur. Perusahaan yang sebesar itu yang menjadi tanggung jawabnya menyangkut khalayak banyak dan negara. Ia lebih banyak ke luar negeri daripada ke daerah-daerah.”
Orang tua itu mulai batuk-batuk, setiap ia melepaskan perasaannya. Napasnya agak sesak.
”Syukurlah Engku Guru,” jawab Tan Marajo seenaknya.
”Syukur apa?”
”Ya, maksud saya, Engku Guru patut bersyukur karena anak-anak Engku tida ada yang susah-susah cari uang seperti anak-anak kami kebanyakan orang kampung kita ini.”
”Apa itu tidak susah? Kau lihat bagaimana aku dulu menyekolahkan anak-anakku? Pulang mengajar, aku harus berkebun sayur dan pisang. Malah pisang-pisangku sempat diijon orang agar aku cepat dapat uang belanja sekolah anak-anakku. Gaji guru? Mana cukup. Lepas belanja seminggu saja sudah syukur. Sekarang Alwi sudah sarjana dalam dan luar negeri. Tapi untuk menjenguk orangtuanya saja, ia tidak punya waktu karena pemerintah terlalu berat memberinya beban pekerjaan.”
***
Ia seperti bicara pada dirinya sendiri tanpa melihat lagi pada Tan Marajo. Tan Marajo memang telah pamit, karena sudah dekat magrib. Sayang pendengarannya memang kurang baik, sehingga ia tidak tahu bahwa lawan bicaranya sudah pergi. Dari amben warung kopi itu ia memandang jauh ke perbukitan yang mulai remang cahaya. Lalu ia dikejutkan oleh sentuhan tangan cucu perempuan yang paling disayanginya, putri Anis, anak bungsunya yang setia tinggal bersamanya di rumah orang tua itu.
”Ibu suruh jemput kakek, sebentar lagi magrib.”
”Ya, ya. Untung ibumu tidak merantau pula. Kalau tidak, dengan siapa aku tinggal?”
Putri kecil itu hanya tersenyum karena tidak mengerti apa yang sedang bergejolak di pikiran kakeknya itu. Ia hanya membimbing kakeknya pulang ke rumah dan berusaha menjaga kakeknya agar tetap berjalan di pinggir karena kendaraan yang meluncur di jalan hotmix itu bisa-bisa tidak terdengar oleh telinganya yang kurang berfungsi dengan baik.
Dulu jalan itu memang jalan kampung berkerikil dan berlubang-lubang, kendaraan tidak terlalu banyak. Sekarang setelah menjadi bagian dari pinggiran kota, jalan itu menjadi mulus dan besar. Apalagi di dekat kampung itu sekarang telah berdiri rumah-rumah pemukim baru yang dibangun real estate. Jalan itu sekarang menjadi ramai, sementara penduduk asli masih merasa jalan itu sebagian halaman rumahnya.
Walaupun sebenarnya jarak warung kopi Jalil ke rumahnya tidak sampai lima ratus meter, bagi Pak Kasim cukup membuat napasnya sesak. Tapi, sebagai warga kampung, satu-satunya ajang bersosialisasi adalah warung kopi itu selain masjid. Lagipula, ia ingin ada orang lain yang mendengarkan suaranya. Di situlah tempatnya. Di rumah ia sering tinggal sendiri, kecuali anak-anak Anis yang asyik bermain. Menantunya sibuk mengajar di sekolah dari pagi hingga siang dan di sekolah swasta sore harinya. Terlalu sepi.
***
Pada suatu malam, ia telah lama menunggu telepon dari Alwi. Setelah habis siaran televisi, tidak juga berdering telepon itu. Ia nekat menelepon Alwi. Lama baru ada jawaban. Suara itu bukan pula suara Alwi. Tidak pula suara istri Alwi, melainkan suara pembantu yang medok.
”Tuan dan nyonya baru saja berangkat ke Paris sore ini. Kalau bapak ada pesan, biar saya rekam. Ngomong saja Pak.” Lelaki tua itu membanting telepon. Dengan susah payah, ia menemukan kertas putih dan pena. Lalu ia menulis panjang sekali. Setelah menulis dua halaman penuh di atas kertas folio putih, ia merasa pusing. Mencoba berbaring. Tapi pusingnya tidak mau hilang. Ia enggan membangunkan anak bungsunya yang esok harus bangun pagi karena tugasnya menunggu di sekolah, seperti yang dilakukannya selama tiga puluh lima tahun dulu.
Lelaki tua itu pasrah. Membaca doa-doa. Semuanya menjadi gelap. Lalu ia merasa melayang-layang. Tenaganya hilang lenyap. Badannya serasa kapas, terombang-ambing dibawa angin sejuk yang aneh. Lelaki itu menangkap cahaya lembut dan jalan lempang tanpa ujung. Tetapi telepon berdering. Ia tak punya keinginan apa-apa untuk mengangkat gagang telepon itu lagi.
***
Telepon berdering terus. Lama baru Anis buru-buru masuk ke kamar ayahnya untuk mengangkat telepon itu. Lampu kamar itu masih terang benderang. Sekilas dilihatnya ayahnya tidur nyenyak dan surat yang baru saja ditulis tergeletak di meja.
”Ya, halo. Dari mana? Paris?”
”Ya, ini Bang Alwi dari Paris. Ini Anis? Bagaimana ayah? Sehat?”
”Ya, ayah tidur, eh tunggu sebentar... Ayah...ayah... Bangun Yah. Aduh, bagaimana ini. Bang Syariiiif, ayah meninggal. Halo, ayah tidak ada lagi.”
”Halo, bagaimana? Ayah ke mana?”
“Ayah meninggal!”
Syarif, suami Anis mencoba mencari nadi di pergelangan mertuanya. Tamat. Riwayat orang tua itu sudah tamat. Anis menangis, Syarif menutup wajah orang tua itu dengan selendang. Lalu membaca surat yang baru saja ditulis orang tua itu di meja. Di balik kertas bertuliskan surat wasiat itu ditemukan Syarif buku tabungan yang kalau tidak salah lebih dari dua puluh satu juta rupiah. Syarif tercengang karena wesel yang selama ini diterima orang tua itu dari Alwi, tak sepeser pun dibelanjakannya. Kini dalam surat wasiatnya, uang itu diwariskannya kembali kepada anak laki-lakinya satu-satunya, Alwi.
Alwi pulang ke kampung langsung dari Paris mendapatkan tanah merah dan warisan buku tabungan di bank. Cerita itu lama berkembang di kampung saya hingga kini.

Padang, Januari 1993
Kompas, 7 Februari 1993
close