Habib A Abdullah: Ketika “Penyair” Menulis Cerpen

rifanfajrin.com

Ketika “Penyair” Menulis Cerpen
Kebetulan ketika pertama saya mengenal Habib, selain sebagai seorang “santri pesantren berjalan”, saya mengenalnya sebagai seorang penyair –ditambah lagi dia adalah seorang mahasiswa jurusan sastra. Itu dimulai setelah berkawan di dunia nyata dan kemudian berkawan di Facebook, saya lalu simak sajak-sajaknya yang dia tulis di situ. Dari situlah saya kemudian menikmati sajak-sajak Habib, dan saya suka. Salah satu sajaknya yang saya ingat kalau tidak salah –mungkin berjudul Ibu, atau pokoknya temanya tentang ibu. Tidak tahu, tahu-tahu saya langsung punya semacam brand, atau label di otak bahwa Habib –dan umumnya penyair selalu punya sisi kelembutan yang oke.
Lalu, kebetulan pula, akhir-akhir ini saya banyak bergaul dengan “para penyair” daripada para cerpenis. Sebut saja Janoary M. Wibowo, dan beberapa kawan-kawannya. Dari beberapa yang saya kenal itu kemudian ada juga yang nulis cerpen, dan hasilnya: sip, atau NICE kalau kata Arya Sutha. Janoary pernah menulis cerpen yang dia kasih judul Panggung –dia pun mengklaim bahwa itulah cerpen dia yang paling bagus. Pernah juga Janoary menulis cerita tentang laba-laba dan David Beckham, hasilnya pun oke juga. Sore tadi pun, saya juga disodori cerpen milik Arya Sutha, judulnya Cangkir, dan hasilnya? SIP, NICE!
Seperti belum lengkap, saya ingat pula seorang kawan yang hilang, namanya Emha Jayabrata –yang sebenarnya nama Emha itu sendiri yang kasih nama saya sendiri, “Em itu untuk Muhammad, dan Ha untuk Haryanto”. Dia juga kadung terkenal sebagai seorang penyair. Namun, saya sempat membaca ide liar dia lewat beberapa cerpen dia yang disodorkan pada saya. Hasilnya pun, cerpen liris dengan cita rasa poetika sastra yang kental. Satu lagi nama yang perlu kita sebut adalah Helvy Tiana Rosa, ujung tombak FLP (Forum Lingkar Pena) yang ketika menulis kumpulan cerpennya Bukavu, Putu Wijaya pun mengatakan, “Cerpen, tak sanggup membatalkan Helvy Tiana Rosa, dari seorang penyair.” Coba kita lihat pada penggalan cerpen “Kivu Bukavu” berikut ini.
Kivu, kau yang terindah
Bisik Hemingway
Aku ingin menangis
Namun danau tak dapat menangis

Nah, dari sini sebenarnya saya kemudian punya semacam dugaan awal, bahwa menulis puisi itu memang jadi semacam pondasi kuat untuk membangun sebuah karya. Emang sih, tidak semua penyair kemudian bisa dibilang bagus jika ia coba nulis cerpen, atau novel. Andrea Hirata pun konon ketika dia menghasilkan tetralogi dahsyat Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov, sebelumnya ia tak pernah menulis sebiji pun cerpen atau puisi. Tapi bagi saya itu bohong. Tuduhan saya itu landasannya: toh di dalam cerita Laskar Pelangi pun Andrea menyelipkan beberapa puisi, yakni puisinya Mahar, atau puisinya Ikal untuk Aling.
Kembali ke cerpen Habib, saya merasakan kelirisan kalimat yang hampir sama. Ceritanya tentang seorang bayi yang kehilangan “cinta pertamanya”, yakni ibu kandungnya. Bagi saya, kemenarikan cerpen ini disebabkan oleh kalimat-kalimat deskripsi suasana maupun perasaan dan pikiran yang liris, sebagai hasil kontemplasi Habib sebagai seorang penyair dan pembaca fenomena namun tak pernah puas dengannya, ia ingin memberontak. Sedangkan soal “teknik kejutan” yang ia terapkan, saya pun mengapresiasinya. Ngomong-ngomong itu mirip dengan cerpen saya Episode Akhir Kesaksian –yang oleh suatu sebab kemudian saya ganti genre-nya sebagai sebuah renungan kontemplasi melihat kenyataan yang semakin pahit.
Secara umum, saya bilang “Selamat” kepada Habib. Bagi saya ini merupakan cerpen yang berhasil. Tentu, mari kita terus berproses kreatif, bersama-sama!
Salam.[]
close