Suatu Hari di Pasar Tradisional


Ilustrasi Cerpen

Suatu hari, entah untuk menghilangkan jenuh atau sekadar ingin berjalan-jalan, Parmin pergi ke pasar tradisional. Kebetulan hari itu adalah hari pasaran Pon, pasti ramai, pikirnya. Lagipula sudah lama Parmin tidak pergi ke pasar tradisional.
Yang paling membuatnya senang adalah barang-barang di pasar itu menurutnya harganya lebih miring dan terjangkau ketimbang membelinya di toko. Bisa ditawar lagi. Mulai dari sepatu, sandal, celana, baju dan kemeja, jam tangan, hingga obat penumbuh rambut atau sekadar obat penyakit kulit, gatal dan panu. Sedangkan kualitasnya – menurutnya– tidak jauh-jauh amat.
Parmin jadi teringat. Dulu ketika ia menderita gatal-gatal di sekujur tubuhnya, ia hampir putus asa. Bagaimana tidak, setelah menghabiskan banyak uang untuk berobat ke dokter, tapi penyakitnya bukannya sembuh malah dirasakannya semakin parah saja. Akhirnya Parmin coba membeli obat yang digelar di pasar tradisional. Semula ia ragu. Namun ternyata, ajaib! Belum sampai separuh obat itu ia habiskan, gatal-gatal sudah tidak terasa. Sejak itulah ia lantas lebih mencintai produk-produk pasar tradisional.
Tapi kali ini Parmin dalam keadaan sehat walafiat. Maka ia tidak hendak membeli obat. Hanya saja, barangkali nanti ada barang yang cocok, bisa dibeli. Jadilah ia membawa uang sekadarnya. Dengan semangat Parmin pergi.
***
Setelah berjalan beberapa lama, sampailah Parmin di pasar tradisional. Hari memang masih agak pagi, makanya Parmin memilih berjalan kaki daripada naik angkot. Itung-itung irit seribu rupiah. Nanti ketika hari sudah panas, barulah ia akan pulang naik angkot.
Mata Parmin memandang ke sekeliling. Hem, luar biasa. Walaupun masih pagi, tapi orang-orang yang datang sudah menyemut. “Rupanya pasar ini masih menjadi idola,” pikirnya sambil terkekeh.
Parmin pun tidak mau berlama-lama. Beberapa saat kemudian terlihatlah Parmin telah berjubel di antara orang-orang yang sibuk memilah dan memilih timbunan kaos-kaos oblong dan baju hangat.
“Ayo mas, tangannya jangan diam saja. Dipilih mana yang cocok,” kata si penjual dengan semangat.
“Ini berapa, Mas?” tanya Parmin sambil menenteng kaos berwarna biru, warna favoritnya.
“Lima belas ribu dua, Mas.”
“Mahal amat. Bisa kurang nggak, Mas?”
“Ah, itu sudah murah, Mas. Apalagi barangnya masih bagus begitu.”
“Kurang dikitlah, Mas! Buat penglaris.”
“Aduh, Mas! Mas tanya di toko kaos begitu harganya sudah tiga puluh ke atas. Di sini nggak ada barang yang mahal, Mas.”
“Beli satu aja deh. Tujuh setengah ya?”
“Wah kalau beli cuman satu, sepuluh ribu, Mas.”
“Lho! Katanya lima belas dapat dua, jadi satunya kan tujuh setengah?”
“Iya, tapi beli satu sama dua, beda, Mas! Beli dua dapat harga istimewa.”
“Kalau tiga berapa mas?”
“Tiga berarti dua puluh lima.”
“Ah, Mas!” Parmin menjadi tidak bersemangat. Kaos biru itu akhirnya ia tinggalkan tergeletak begitu saja, di antara tumpukan kaos-kaos bekas.
***
Parmin berkeliling lagi. Mencoba bertanya-tanya dan menawar-nawar kaos di pedagang lain. Tapi sama saja harganya. Para penjual itu kompak betul, pikirnya. Sebetulnya Parmin naksir kaos yang biru tadi. Pikirannya ingin kembali ke sana lagi.
“Ah, tanggung sekali beli cuma satu. Tapi kalau beli dua, harganya itu lho!”
Memang beginilah sifat orang. Kadang berangkat ke pasar niatnya cuma jalan-jalan saja, tapi sampai di sana penginnya beli macam-macam.
Parmin masih berpikir-pikir.
Dalam dompet di saku celananya hanya ada dua puluh ribu. Kalau beli dua potong, berarti uangnya tinggal lima ribu saja. Kemudian dengan uang itu untuk makan dan naik angkot pulang, rasanya kok sudah mepet banget. Sambil berjalan ia melamun.
Tiba-tiba mata liar Parmin menyambar sebuah dompet merah yang tercecer. Wah, rezeki, pikirnya! Namun keraguan mengelus hatinya. Ia malu untuk mengambilnya. Jangan-jangan ada orang yang mau menjebaknya, mengerjai dengan memasang sebuah dompet kosong di tengah jalan. Dan anehnya, Parmin pun merasa pada saat itu ada ribuan pasang mata sedang memandang ke arahnya dan bersiap-siap hendak menertawakannya. Parmin jadi ragu. Dan akhirnya ia pun berlalu begitu saja. Ia terus berjalan dengan lambat.
***
Parmin merasa menjadi orang paling bodoh sedunia dengan membiarkan rezeki di depan mata lenyap begitu saja. Hanya karena perasaannya mengatakan ia hendak ditipu, ditertawakan di depan banyak orang. Dan pula bukankah ia ingin sekali membeli kaos keren berwarna biru? Maka dengan tergesa-gesa Parmin kembali ke tempat dompet merah tadi tercecer. Barangkali dompet itu masih ada dan memang menjadi rezekinya.
Namun, nampaknya harapan kadang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Parmin terlambat sepersekian detik. Ketika Parmin sedang membungkuk menjulurkan tangannya untuk memungut dompet tersebut, sebuah tangan hitam telah mendahuluinya memungut benda yang tak jelas siapa empunya itu. Parmin kalah cepat. Seorang lelaki berambut gembel berpakaian lusuh dengan bagian punggung terkoyak, kini tengah gembira menimang-nimang dompet tersebut. Seringai tawanya terlepas memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Dari mulutnya tak henti-hentinya terlepas beberapa patah kata yang tak jelas maknanya. Namun, semua orang tahu bahwa lelaki gembel itu sedang gembira.
Parmin lantas berpikir keras, bagaimana agar dompet itu dapat beralih ke tangannya. Langkah awal adalah memulainya dengan berbicara baik-baik kepada lelaki gembel itu, mengaku bahwa dialah pemilik sah dompet itu.
“Hei, Mas. Dompet itu bukan milik Mas, kan? Karena dompet itu memang milik saya yang terjatuh,” kata Parmin pelan.
Lelaki gembel tidak menyahut. Hanya dua alisnya terangkat naik, seperti keheranan. Lalu mulutnya sedikit dimonyongkan ke depan, kemudian ia tertawa cekikikan. Parmin menduga lelaki gembel ini pasti orang yang tidak waras. Dalam pikiran Parmin, lelaki model seperti ini teramat sulit untuk diajak berdialog kecuali oleh orang yang memang dekat dengan dia sebelumnya. Misal ibunya, bapaknya, kakak atau adiknya, gurunya, bahkan mantan pacarnya yang mungkin gara-gara hubungan mereka yang tak kesampaian menyebabkan si lelaki menjadi gila.
Seketika Parmin menyadari bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi lelaki gembel tersebut. Sebelumnya ia tidak mempunyai pertalian sejarah apa-apa dengannya, karena memang baru kali ini ia bertemu. Maka satu-satunya jalan untuk mendapatkan dompet itu adalah dengan sedikit muslihat, jika ia tidak ingin menyebutkan satu cara terakhir yang darurat yakni dengan cara kekerasan! Sampai detik ini Parmin masih belum memahami mengapa ia begitu bernafsu memindahkan dompet itu ke tangannya. Sesungguhnya bukan semata karena ia ingin memiliki baju berwarna biru kesukaannya, namun lebih disebabkan ia terlanjur memandang remeh lelaki gembel di hadapannya. Ia akan sangat malu seandainya ia “dikalahkan” oleh seorang lelaki gembel.
Parmin memandang ke sekeliling. Dilihatnya orang-orang tidak ada yang memperhatikannya dan lelaki gembel itu – barangkali sesungguhnya ada yang memperhatikan, tapi tanpa dihiraukan oleh Parmin–. Parmin segera mengambil dompetnya dari balik saku celananya. Sesaat kemudian terlihatlah suatu pemandangan aneh sekaligus menggelikan, Parmin meniru gaya lelaki gembel. Dengan tertawa-tawa ia menimang-nimang dompetnya sendiri ke arah lelaki gembel, seolah ia ingin memamerkan dompetnya yang lebih bagus daripada dompet lelaki gembel.
Lelaki gembel itu nampaknya begitu gembira dengan gaya Parmin. Dengan tidak disangka-sangka oleh Parmin, lelaki gembel itu mengajaknya menari-nari. Ia menari tak tentu geraknya. Irama langkah kaki dan tangannya membentuk suatu tarian yang liar. Namun hal itu justru menampakkan keaslian, tidak ada kekakuan dan kepalsuan pada diri lelaki gembel. Lelaki gembel benar-benar mencapai trance atau improvisasi dalam tariannya. Sesekali diacungkannya dompet merah dalam genggamannya itu tinggi-tinggi ke udara. Muka, tangan, dan sekujur tubuhnya berkilat-kilat dan berkeringat diterpa sinar matahari.
***
Satu hal yang mungkin tak pernah sekalipun terbayangkan dalam benak Parmin adalah bahwa pada saat itu Parmin dan lelaki gembel benar-benar sedang menjadi pusat perhatian di pasar tradisional. Bukan hanya karena pemandangan yang kontras antara Parmin yang berpakaian rapi bersih menari bersama seorang lelaki gembel, namun oleh sebab mereka berdua menari sambil mengacungkan dompet mereka masing-masing.
Sambil terus menari, Parmin sesungguhnya sedang menanti saat yang paling tepat untuk menukar dompetnya dengan dompet dalam genggaman lelaki gembel. Dan untuk kesekian kali, Parmin memamerkan dompetnya kepada lelaki gembel. Sedangkan tangan kirinya terus menggayuh-gayuh mencoba mengambil dompet di tangan lelaki gembel.
Kali ini nampaknya Parmin akan berhasil ketika tarian lelaki gembel dirasakannya mulai tak bertenaga. Setelah sekian lama mereka berdua menari, tangan lelaki gembel pun melemas dan akhirnya membiarkan tangan Parmin mengambil alih dompet merah itu dari genggamannya. Parmin sendiri masih terus menari.
Namun ketika ia hendak menjauh dari lelaki gembel, serta merta tangan hitam itu menahan pundaknya. Parmin sepenuhnya mengerti bahwa lelaki gembel sesungguhnya sedang merasakan ada sesuatu yang hilang dari genggamannya, dompet itu. Maka dengan serta merta Parmin menyelipkan dompet miliknya sendiri dalam genggaman lelaki gembel.
Sambil berseru kegirangan penuh kemenangan, “Ini ambillah, dan menarilah dengan gembira!” Parmin diam-diam melesat meninggalkan lelaki gembel yang menari dengan terhuyung-huyung. Dompet itu sekarang berada dalam genggamannya. Ia berhasil meraihnya dengan sedikit muslihat.
***
Barulah ketika kaos biru yang diidamkannya itu telah berada di tangannya dan Parmin hendak membayarnya, Parmin menyadari sepenuhnya bahwa dirinya sangat terkejut. Dompet merah yang didapatkannya dengan mengorbankan harga dirinya bersama dua puluh ribu uang miliknya ternyata berisi kosong. Ia benar-benar merasa konyol, sebab telah dengan sangat bodoh termakan stigma bahwa dompet yang tercecer selalu berisi banyak uang. Mulut Parmin terkunci rapat untuk sesaat.
Perubahan muka Parmin rupanya terlihat oleh si penjual kaos.
“Ayo, Mas. Kenapa diam saja?”
Parmin masih membisu. Namun beberapa detik kemudian, dicampakkannya kaos biru itu dan dengan secepat kilat Parmin melesat ke tempat ia menari bersama lelaki gembel. Dalam pikirnya, barangkali lelaki gembel itu masih menari-nari di sana. Parmin berharap masih dapat menemukan lelaki gembel itu.
Namun untuk kedua kalinya, nampaknya harapan kadang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Untuk kedua kalinya pula Parmin terlambat sepersekian detik. Ketika Parmin melihat lelaki gembel naik ke atas sepedanya dan melesat pergi. Parmin terlampau lambat. Kenyataan yang sedang terjadi, seorang lelaki gembel berpakaian lusuh dengan bagian punggung terkoyak, kini tengah gembira menimang-nimang dompet milik Parmin. Seringai tawanya terlepas memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Dari mulutnya tak henti-hentinya terlepas beberapa patah kata yang tak jelas maknanya. Namun, semua orang tahu bahwa lelaki gembel itu sedang gembira.
Parmin hanya bisa melongo. []
close