Resensi Buku Penembak Misterius, Seno Gumira Ajidarma

Kumpulan Cerpen Penembak Misterius Seno Gumira Ajidarma




Pertengahan tahun 1980-an, pada masa Orde Baru, pernah terjadi penumpasan kejahatan secara tersembunyi yang dilakukan oleh militer. Penumpasan secara tersembunyi terhadap para pelaku kejahatan atau orang-orang yang disangka melakukan kejahatan ini disebut sebagai penembakan misterius, dan pelakunya adalah penembak misterius (petrus). Konon, tak kurang 10.000 jiwa melayang lewat penumpasan ini.

Di tengah situasi kemerosotan ekonomi saat itu, kejahatan memang merajalela. Oleh sebab itu, masyarakat yang merindukan keamanan dan ketentraman menyambut baik adanya operasi ini. Berkat penumpasan ini, angka kejahatan menurun drastis. Namun, beberapa kalangan menganggap penumpasan oleh petrus ini tidak sehat bagi hukum, dan terutama melanggar hak asasi manusia.

Pemerintah sendiri pun pada akhirnya melarang pers untuk mengangkat isu petrus yang ramai diperbincangkan, yang bahkan dunia internasional pun membincangkannya. Pelarangan tersebut terjadi pada Agustus 1983. Alhasil tidak ada satu pun media yang menampilkan peristiwa petrus meskipun praktik petrus itu masih terjadi hingga tahun 1985. Rupanya pemerintah ingin menghilangkan isu petrus ini dari masyarakat.


Oleh karena itu, hadirnya trilogi “Penembak Misterius” ini dianggap sebagai dokumen yang berharga yang mencatat peristiwa menghebohkan tersebut. Tiga cerpen trilogi tersebut semuanya pernah dimuat di Harian Kompas, yakni “Keroncong Pembunuhan” (3 Februari 1985), “Bunyi Hujan di Atas Genting” (28 Juli 1985), dan “Grhhh!” (18 Januari 1987). Trilogo Penembak Misterius ini pernah diterjemahkan oleh Patricia B. Henry ke bahasa Inggris dengan judul “The Mysterious Shooter Trilogy” ‘Killing Song’, ‘The Sound of Rain on Roof Tiles’, ‘Grhhh!’”, dimuat dalam Teri Shaffer Yamada (ed.), Virtual Lotus Modern Fiction of Shouteast Asia (Michigan; University of Michigan Press, 2002).

Cerita pertama, “Keroncong Pembunuhan” mengisahkan seorang algojo/pembunuh bayaran yang dikontrak seorang wanita muda untuk membunuh seorang pengkhianat bangsa dan negara. Algojo tersebut dikisahkan berdarah dingin dan tidak pernah gagal dalam misinya. Tidak pernah ada perasaan bersalah dari dalam hatinya setelah menyelesaikan tugasnya, bukankah orang-orang yang dia habisi adalah orang-orang yang jahat, seorang pengkhianat bangsa dan negara? Akan tetapi pada malam itu, tiba-tiba ada perasaan aneh mengusiknya setelah lewat teleskop senapannya dia melihat wajah pengkhianat bangsa dan negaraĆ­ itu. Dia berpikir pada keluarga, orang-orang yang bakal ditinggalkan oleh target pembunuhannya itu.

Mungkin ia punya isteri, punya anak, bahkan kupikir ia pun pantas punya cucu. Mereka akan bertangisan setelah mendengar kematian orang ini, dan tangis itu makin menjadi-jadi ketika mengetahui cara kematiannya.

Maka ketika sang algojo siap menembak, satu tekanan telunjuk saja sudah sukses mengakhiri riwayat lelaki bidikannya itu, garis silang sudah tepat ada pada mata kirinya,  sang algojo tersebut bertanya kembali kepada orang yang membayarnya tadi, si wanita muda, hendak meyakinkan bahwa targetnya ini bukanlah orang yang keliru.

Akan tetapi, yang terjadi hanyalah transaksi pembunuhan. Wanita muda tidak memberikan penjelasan lebih selain keterangan bahwa lelaki tersebut adalah pengkhianat bangsa dan negara. Sang algojo yang tadi sempat terusik nuraninya, ia tidak akan menembak orang yang tidak bersalah, kemudian justru mengancam akan membunuh sang wanita muda, orang yang membayarnya. Ia sudah mengarahkan senapan kepada wanita muda dan dalam sekejap bisa saja menghabisi si wanita muda jika tidak membeberkan “dosa-dosa” lelaki yang akan menjadi targetnya, sekaligus menunjukkan siapa orang yang telah menyuruhnya.

“Siapa yang menyuruhmu?”
“Aku tidak tahu apa-apa.”
“Leontinmu manis...”
“Ah, jangan tembak! Please...
“Siapa?”
“Aku... aku bisa celaka.”
“Sekarang pun kamu bisa celaka. Kuhitung sampai tiga. Satu...”
“Kamu gila, kamu merusak segala-galanya.”
“Dua...” Hmm, alangkah gugupnya dia.
“Ia ada di depan orang yang harus kamu tembak.”
“Berkacamata?”
“Ya.”

Lalu sang algojo pun mengarahkan senapannya kepada seorang lelaki yang menyuruh sang wanita, seorang lelaki yang sedang bercerita dengan berapi-api, tangannya bergerak kian kemari, mengepal dan memukul-mukulkan tinjunya pada telapak tangan yang lain, yang wajahnya licik dan penuh tipu daya, sangat memuakkan, padahal ia pun sudah tua!

Cerita ini diakhiri dengan satu kalimat: Inilah keroncong fantasi. Tidak jelas pada siapa yang akhirnya ditembak oleh sang algojo. Bisa juga berarti bahwa usikan nurani yang melanda sang algojo hanyalah sebuah fantasi, dalam kenyataannya mereka dibayar dan mendapatkan uang. Selesailah tugasnya.

Cerita kedua, “Bunyi Hujan di Atas Genting”, merupakan cerita berbingkai dengan cerita utama seorang juru cerita yang menuturkan ceritanya kepada Alina. Ia bercerita tentang Sawitri yang selalu dilanda kecemasan setiap kali mendengar bunyi hujan menitik di atas genting. Sebab, ketika hujan mereda, di ujung gang persis di halaman rumahnya selalu tergeletaklah mayat bertato. Sawitri selalu takut bahwa mayat tersebut adalah Pamuji, pacarnya, sebab Pamuji juga bertato. Oleh sebab itu, Sawitri sering melongok melalui jendela rumahnya, atau berlari dan menyeruak kerumunan untuk memastikan apakah mayat tersebut adalah Pamuji atau bukan.

Dalam cerita ini, sepertinya hanya Sawitri yang merasa cemas setiap kali ada mayat bertato tergeletak di mulut gang, sementara tetangga-tetangganya justru senantiasa bersorak kegirangan. Kadang mereka menendang-nendang mayat tersebut atau bahkan mengaraknya keliling kampung. Sawitri mengenali beberapa di antara mayat-mayat tersebut, antara lain karena tato yang melekat di tubuhnya walaupun wajahnya sudah tidak bisa dikenali lagi.

Dari identifikasi fisik mayat-mayat tersebut, kita jadi mafhum bahwa pada waktu itu kemudian orang-orang bertato sangat identik dengan premanisme/kejahatan. Mungkin juga sampai sekarang imej tersebut sedikit masih melekat, meskipun imej tersebut sudah mulai dilawan dengan tato sebagai seni.

Cerita ini ditutup dengan pertanyaan Alina kepada juru cerita, apakah pada akhirnya Sawitri akan bertemu/melihat Pamuji. Sang juru cerita tidak bisa menjawab. Ia hanya mengatakan: ceritanya belum selesai.

Cerita ketiga, “Grhhh!”, berkisah tentang Reserse Sarman yang berupaya menumpas zombie yang muncul di setiap sudut kota. Zombie (mayat hidup) tersebut sangat menjijikkan dan menimbulkan kekacauan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membasmi zombie-zombie tersebut. Reserse Sarman nyaris kehilangan akal setelah senapan kaliber 22 miliknya ternyata tidak mempan. Akhirnya dipilihlah rudal anti tank, rudal TOW yang sukses menghancurleburkan zombie-zombie tersebut. Namun, bukannya selesai masalah, dari tubuh yang telah hancur tersebut malah muncullah ulat-ulat yang tak kalah busuknya. Sementara mayat-mayat hidup terus bermunculan.

Ternyata zombie-zombie tersebut adalah para korban petrus. Hal ini baru disadari Sarman setelah kantornya digedor oleh zombie yang dari ciri-ciri fisiknya mengingatkan Sarman kepada seorang preman bernama Ngadul. Ngadul adalah preman yang hilang secara misterius, dugaan kuat dia telah dibantai. Sarman kemudian ingat, sebenarnya Ngadul ini adalah penjahat yang telah insyaf. Tetapi memang keberadaan Ngadul bersama kurang lebih enam ribu penjahat lainnya hilang secara misterius, yakni karena pembantaian di daerah Lubang Besar.

Menyadari bahwa pembantian tersebut merupakan suatu kesalahan besar, Reserse Sarman kemudian melapor kepada komandannya, bahwa tidak ada lagi gunanya mengimpor rudal dari luar negeri yang mahal itu untuk membasmi para zombie. Saran dari Sarman adalah: Sembahyangkan zombie (para preman yang mati tanpa dishalati itu)!

“Pembantaian ini merupakan kesalahan besar, Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati! Mereka membalas dendam Pak!”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Sembahyangkan mereka Pak! Harus dilakukan penyembahyangan massal Pak! Rudal kita cuma seratus! Tidak cukup untuk membasmi mereka! Sembahyangkan mereka Pak! Supaya rohnya santai!”
“Kamu bermimpi ya, Bintara Sarman? Kamu ngelindur? Itu semua omong kosong! Kita sedang mengimpor rudal dari luar negeri! Kamu dengar itu? Enam ribu rudal sedang dikapalkan kemari! Mereka akan dibantai!”

Cerita berakhir dengan Reserse Sarman yang tidak sempat mempertahankan argumennya karena dia sudah keburu diserbu Zombi yang terus meneriakkan: Grhhh!!! Dhendham! Dhendham khesumath!

Membaca cerita trilogi ini, saya seperti dihadapkan pada situasi yang dilematis. Bagaimana menciptakan stabilitas keamanan dan hukum? Apa/bagaimana upaya yang semestinya ditempuh? Sebagai orang kebanyakan, saya memang cenderung untuk mendukung upaya-upaya pemberantasan kejahatan, dengan cara apapun! Bagaimana kita berteriak tentang HAM, sementara para pelaku kejahatan tersebut tidak pernah berpikir tentang HAM? Bagaimana HAM akan membela para korban kejahatan, yang tak banyak pula mereka yang mati sia-sia karena aksi kejahatan? Lantas siapa yang seharusnya membasmi kejahatan, atau apa bentuk hukuman yang paling setimpal kepada pelaku kejahatan supaya perbuatannya tidak lagi terulang? Hukum yang tegas? Masihkah kita berharap pada hukum yang tegas ketika di negeri ini apapun bisa diperjualbelikan, termasuk hukum? []

______________________________________
Judul Buku                  : Penembak Misterius
Penulis                         : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit                       : Galang Press
Tahun Terbit                : 2007, Cetakan V
Tebal Buku                  : viii + 214 Halaman

Isi Buku

Penembak Misterius: Trilogi
1.      Keroncong Pembunuhan
2.      Bunyi Hujan di Atas Genting
3.      Grhhh!
Cerita Untuk Alina
1.      Sarman
2.      Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo)
3.      Melati dalam Pot
4.      Dua Anak Kecil
5.      Tragedi Asih Istrinya Sukab
6.      Seorang Wanita di Halte Bis
7.      Semangkin (d/h Semakin)
Bayi Siapa Menangis di Semak-Semak?
1.      Srengenge
2.      Manusia Gundu
3.      Helikopter
4.      Loket
5.      Bayi Siapa Menangis di Semak-Semak?
close